TETANUS

TETANUS

TETANUS

Pendahuluan

 

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian dari penyakit tetanus masih cukup tinggi. Oleh karena itu tetanus masih merupakan masalah kesehatan. Akhir–akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan angka kematian telah menurun secara drastis.

            Sampai saat ini tetanus masih sebagai masalah kesehatan masyarakat yang signifikan pada negara-negara yang sedang berkembang, oleh karena akses program imunisasi yang buruk, ditambah lagi penatalaksanaan tetanus yang modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU), yang sangat jarang tersedia pada sebagian besar populasi yang menderita tetanus yang berat. Pada negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50%. Kematian utamanya terjadi karena kegagalan respirasi akut.

 

Definisi

Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani. Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat. Di bawah kondisi anerobic seperti luka kotor dan nekrotik, bacillus ini dimana-mana dapat memproduksi tetanospasmin yang merupakan neurotoksin poten. Dalam tubuh, kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan, spasme dari otot bergaris. Toksin tetanus memblok/menghambat neurotransmitter pada system syaraf pusat, menghasilkan kekakuan dan spasme yang merupakan type dari tetanus.

 

Etiologi

 

  1. tetani adalah bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di tanah dan kotoran binatang. Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi spora, memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun. C. tetani merupakan bakteri yang motil karena memiliki flagella, dimana menurut antigen flagellanya, dibagi menjadi 11 strain dan memproduksi neurotoksin yang sama. Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen desinfektan baik agen fisik maupun agen kimia. Spora C. tetani dapat bertahan dari air mendidih selama beberapa menit (meski hancur dengan autoclave pada suhu 121° C selama 15-20 menit). Jika bakteri ini menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda lain, bakteri ini akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin

 

Diagnosis

Diagnosis tetanus dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.

 

  1. Anamnesa
  2. Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan atau patah tulang terbuka, luka dengan nanah atau gigitan binatang?
  3. Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
  4. Apakah sedang menderita gigi berlubang?
  5. Apakah sudah mendapatkan vaksin DT atau TT, kapan melakukan imunisasi terakhir?
  6. Selang waktu timbulnya gejala klinis pertama dengan kejang yang pertama

 

  1. Pemeriksaan Fisik
  2. Trismus yaitu kekakuan otot mengunyah ( otot maseter) sehingga sukar membuka mulut
  3. Risus sardonicus terjadi akibat kekakuan otot mimik, sehingga tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah
  4. Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur
  5. Perut papan
  6. Bila kekakuan semakin berat, akan Lambat laun masa istirahat kejang semakin pendek sehingga pasien dapat jatuh dalam status konvulsius
  7. Pada tetanus yang berat dapat terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat kejang yang terus menerus atau oleh kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoreksia dan kematian. Pengaruh toksin pada saraf otonom menyebabkan ganguan sirkulasi dan dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi dan berkeringat banyak.
  8. Laboratorium
  9. Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas, yaitu:
  10. Leukositosis ringan
  11. Trombosit sedikit meningkat
  12. Glukosa dan Kalsium darah normal
  13. Enzim otot serum mungkin meningkat
  14. Cairan serebrospinal normal namun tekanan dapat meningkat

 

  1. Penunjang lainnya
  2. EKG dan EEG normal
  3. Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat membantu, tetapi seringnya tidak ditemukan Clostridium tetani.

 

Penanganan

 

  1. Secara Umum
  • -  Jika memungkinkan, tempatkan pasien di ruangan/lokasi yang khusus untuk pasien tetanus. Untuk meminimalkan risiko spasme paroxysmal yang dipresipitasi oleh stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan yang gelap dan tenang. Pasien diposisikan sedemikian rupa dengan hati-hati untuk mencegah pneumonia aspirasi.
  • -  Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek dari toksin yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU, dimana mereka bisa dimonitoring dan diobservasi secara kontinu.
  • -  Luka, harus dibersih dan atas indikasi.
  • -  Meminimalisir efek toksin yang sudah berikatan pada sistem saraf dan memberikan terapi suportif. Khususnya di ruang terapi intensif, penatalaksanaan tetanus berupaterapi suportif, dengan menitikberatkan pada sistem respirasi, instabilitas otonom, dan spasme otot.

 

  1. Immunotherapy: Tindakan awalnya adalah memberikan imunisasi pasif. Jika memungkinkan, diberikan TIG 500 units intramuscular atau intravena, segera mungkin. Vaksin TT menggandung 0.5 cc, di injeksikan secara im. Penyakit tetanus tidak di pengaruhi oleh imunitas, pasien dengan riwayat menerima primer vaksin TT, harus menerima vaksin kembali 1-2 bulan kemudian setelah pemberian pertama dan 6-12 bulan kemudian untuk dosis yang ke tiga.
  2. Antibiotic: Metronidazole 500 mg setiap 6 jam secara iv atau p.o ; Penicillin G (100,000– 200,000 IU/kg/hari iv, dibagi dalam 2-4 dosis). Tetracyclines, macrolides, clindamycin, cephalosporins and chloramphenicol dapat juga diberikan.
  3. Muscle spasm control: benzodiazepines dapat diberikan. Untuk dewasa, dapat di berikan diazepam iv hingga 5 mg, atau lorazepam 2 mg, tirtasi sampai control spasme tanpa sedasi yang berlebihan dan hypoventilasi (Untuk anak-anak, dimulai dengan dosis 0.1– 0.2 mg/kg setiap 2–6 jam, dititrasi sesuai kebutuhan). Dosis yang besar dapat dibutuhkan hingga 600 mg/hari).
  4. Preparat Oral dapat digunakan, akan tetapi harus hati-hati dengan monitoring untuk menghindari depresi nafas da henti nafas.
  5. Magnesium sulphate dapat digunakan sendiri atau kombinasi dengan benzodiazepine untuk control spasme dan autonomic dysfunction, dengan dosis 5 gr (atau 75mg/kg) intravenous diberikan secara loading dose, lalu 2–3 grams per jam, hingga mencapai spasm control. Untuk menghindari overdosis, monitoring reflek patella seperti areflexia (tidak adanya reflek patellar) dapat terjadi pada range dosis terapi 4mmol/L. Jika areflexia terjadi, dosis harus di turunkan.
  6. Agen lain yang digunakan untuk spasm control termasuk baclofen, dantrolene (1–2 mg/kg intravenous atau p.o setiap 4 jam), barbiturates short-acting lebih baik (100–150 mg setiap 1–4 jam untuk dewasa ; 6–10 mg/kg untuk anak-anak; dengan segala), dan chlorpromazine (50–150 mg im, setiap 4–8 jams pada dewasa; 4–12 mg im setiap 4–8 jam untuk anak).
  7. Autonomic dysfunction control: magnesium sulphate (seperti di atas) atau morphine. Catatan: Beta Blocker: Propranolol dapat digunakan secara cepat, tetapi dapat menyebabkan hypotensi dan sudden death; hanya esmalol yang direkomendasikan saat ini
  1. Airway / respiratory control: Obat yang digunakan untuk control spasme and sedasi dapat menghasilkan depresi nafas. Jika mechanical ventilation tersedia, ini sangat mengurangi masalah. Jika tidak, pasien harus di monitoring secara ketat dan dosis obat-obatan untuk control maximal spasm dan autonomic dysfunction control untuk mencegah gagal nafas. Jika spasm, meliputi laryngeal spasm, terapi ventilasi yang adekuat, mechanical ventilation di rekomendasikan jika memungkinkan. Tracheostomy awal sangat dianjurkan untuk mengatasi spasme seperti endotracheal tubes, yang dapat menyebabkan provokespasm dan membahayakan exacerbate airway.
  2. Adequate Cairan dan nutrisi harus di berikan, karena tetanus spasms menghasilkan kebutuhan metaolik yang tinggi dan katabolic state. Nutritional support dapat mempertinggi angka kelangsungan hidup.
  3. Elektrolit serta analisa gas darah sangatlah penting sebagai penuntun terapi

 

Share this Post:

Post Terkait:

Tinggalkan Komentar